Share this

Di salah satu sudut kawasan Puncak yang dikenal sebagai Kampung Arab atau Warung Kaleng, praktik kawin kontrak masih saja jadi pembicaraan hangat. Kawin kontrak—yakni pernikahan sementara berdasarkan kesepakatan waktu dan kompensasi materi—sering disebut-sebut sebagai bentuk “prostitusi yang dibungkus syariat”.
Salah satu kisah yang mencuat datang dari Siska, seorang mahasiswi biasa. Wajahnya tidak luar biasa, tapi justru itu membuat ceritanya makin terasa nyata. Awalnya, Siska hanya ikut temannya yang sedang “booking”, tapi ketika melihat betapa besar mahar yang ditawarkan—bahkan bisa mencapai Rp50 juta, lengkap dengan hadiah seperti mobil atau rumah—dia pun tergoda ikut terjun.
Salah satu pelanggannya berasal dari Sudan. Mahar yang diberikan fantastis, dan uang jajan hariannya bisa mencapai Rp750 ribu. Tapi konsekuensinya? Berat. Siska harus selalu siap “melayani”, bahkan beberapa kali dalam sehari. Akibatnya, fisiknya drop dan sakit berkepanjangan.
👀 Tanggapan Positif
Melihat dari sisi lain, ini menunjukkan bagaimana realita ekonomi bisa memaksa seseorang mengambil keputusan ekstrem demi bertahan hidup. Setidaknya, praktik ini—meski kontroversial—memberikan bentuk “komitmen” legalitas dibanding praktik prostitusi bebas. Namun tentu saja, tetap banyak sisi yang perlu dikritisi dan ditata.
🔎 Analisis & Pandangan Tambahan
Kawin kontrak menyentuh isu yang sangat kompleks: ekonomi, budaya, agama, dan hukum. Di satu sisi, praktik ini sering dipertanyakan legalitasnya. Bahkan di banyak kasus, nikah kontrak tidak tercatat di KUA, dan hanya dilakukan berdasarkan kesepakatan dengan wali atau mediator lokal.
Fenomena ini tumbuh subur karena ada permintaan dan celah hukum. Banyak perempuan yang terdesak kondisi ekonomi, dan banyak “pelanggan” asing yang menginginkan hubungan berbalut “syariat” agar tidak disebut zina. Tapi apakah benar ini solusi? Atau justru bentuk eksploitasi modern yang terselubung?
🧠 Kesimpulan
Praktik kawin kontrak masih jadi dilema moral dan sosial. Di balik mahar puluhan juta dan gaya hidup instan, ada luka fisik dan batin yang sering tidak terlihat. Perlu peran negara, tokoh agama, dan masyarakat untuk memberi edukasi dan perlindungan yang adil, terutama bagi perempuan yang terlibat karena keterpaksaan.