Share this

Jadi Programmer di Indonesia: Penuh Ilmu, Minim Apresiasi?
Di Indonesia, profesi programmer semakin diminati, terbukti dari banyaknya lulusan IT dari berbagai universitas yang berminat menjadi bagian dari dunia pemrograman. Bahkan, tak sedikit dari mereka yang bukan berasal dari jurusan IT bisa menjadi programmer andal. Dunia coding memang bisa dipelajari secara otodidak, tapi tidak semua tahu beban kerja dan tantangan yang sebenarnya di balik profesi ini.
Sebagai seseorang yang juga berkecimpung di dunia IT, saya melihat banyak ironi dalam dunia kerja programmer di Indonesia. Misalnya, gaji yang tidak sebanding dengan beban kerja. Untuk level junior hingga menengah, gaji Rp5β7 juta dianggap lumayan. Tapi jika pekerjaan yang diberikan adalah fullstack (yang idealnya dilakukan dua orang: frontend dan backend), maka tentu tidak sepadan.
Fullstack Tapi Gaji Seadanya?
Saat perusahaan meminta seorang programmer menjadi serba bisa β mulai dari desain UI, backend logic, integrasi API, hingga deploy ke server β itu sebenarnya sudah masuk ranah beberapa profesi sekaligus: designer, backend engineer, DevOps, bahkan QA. Sayangnya, hal ini dianggap biasa, dan banyak programmer terpaksa menyanggupi karena takut kehilangan pekerjaan.
Belum lagi tekanan dari tim manajemen yang seringkali tidak memahami alur kerja development. Programmer dituntut menyelesaikan aplikasi dengan cepat, tanpa bug, dan harus sempurna, padahal tanpa adanya dokumentasi, tester, atau waktu yang cukup.
Tantangan Teknologi yang Terus Berkembang
Menjadi programmer juga artinya harus siap belajar tanpa henti. Bahasa pemrograman dan tools berubah cepat β apa yang dipelajari tahun lalu bisa jadi sudah usang tahun ini. Seorang programmer web, misalnya, perlu menguasai HTML, CSS, JavaScript, berbagai framework (React, Vue, Bootstrap), plus backend seperti PHP, Node.js, SQL, dan pemahaman bisnis proses. Berat? Sangat.
Kabar Baik: Kesadaran Perlahan Tumbuh
Meski begitu, saya tetap optimis. Sekarang sudah mulai banyak perusahaan di Indonesia yang menerapkan metode kerja yang lebih manusiawi, seperti Agile, Scrum, CI/CD, dan mulai mengenal pentingnya pembagian tugas antar tim. Tekanan ke developer pun sedikit berkurang karena ada peran QA, DevOps, dan Product Owner.
Bagi saya pribadi, jadi programmer tetap profesi yang keren. Kita adalah pembangun teknologi masa depan, hanya saja, kita perlu lebih berani berkata tidak pada kondisi kerja yang tidak sehat. Dan tentu, berharap perusahaan juga makin menghargai kerja keras dan kemampuan para developer.