Share this

Kami bukan keluarga kaya sejak awal. Bahkan, aku tumbuh dari garis yang sangat sederhana. Papa adalah anak bungsu dari tujuh bersaudara. Kakek dan nenekku dulu hidup dalam kemiskinan yang begitu menyayat. Memberi makan tujuh anak saja sudah jadi perjuangan hidup mati. Seringkali, satu piring nasi dibagi bertujuh, dan lauknya hanya garam atau air putih.
Seiring waktu, satu per satu anak mereka mencoba peruntungan ke kota. Tapi seperti nasib, rezeki tiap orang tak pernah sama. Enam kakak papa hidup dalam berbagai kesulitan—ada yang berkeluarga besar dengan penghasilan pas-pasan, ada yang terus berpindah-pindah kerja, ada yang masih bergantung pada belas kasih. Mereka semua bertahan, tapi dalam kekurangan yang nyaris tak pernah selesai.
Lalu ada papa. Bungsu yang diam-diam bekerja keras hingga suatu hari mendapat jabatan di kantor. Bukan kaya raya, tapi cukup untuk membangun hidup yang lebih baik. Cukup untuk membawa mama dan anak-anaknya keluar dari kebocoran atap, dinding lapuk, dan rumah berdebu yang penuh tikus.
Kami merenovasi rumah. Bukan karena gengsi. Tapi karena kami lelah hidup dalam rumah yang selalu membuat kami sakit. Rumah itu dulu bukan tempat pulang, tapi tempat bertahan. Kini, papa ingin mengubahnya jadi tempat istirahat yang layak—yang nyaman untuk mama, aman untuk kami anak-anaknya.
Lalu kami mengundang keluarga besar. Syukuran kecil, makan bersama, silaturahmi yang hangat. Papa menyiapkan semuanya dengan hati, berharap bisa mempererat ikatan saudara. Tapi…
Beberapa hari kemudian, aku mendengar mereka bicara.
“Sombong.”
“Belagu.”
“Punya uang malah dipakai renovasi, bukan bantu keluarga.”
Aku diam. Tapi dadaku seperti dicekik.
Mereka tidak tahu betapa keras papa bekerja. Betapa banyak malam papa habiskan di kantor, pulang larut, hanya untuk memastikan rumah kami berdiri dengan layak. Mereka tidak tahu papa sering mentraktir mereka makan, memberi bantuan diam-diam tanpa pamrih.
Dan sekarang? Mereka bilang papa sombong?
Padahal mereka datang ke rumah itu, makan di meja kami, tersenyum di depan kami… lalu menikam di belakang.
Sebagai anak, aku hancur. Aku kecewa.
Apa yang mereka inginkan dari kami?
Rumah ini dibangun dari keringat dan air mata. Tapi yang mereka lihat hanya ubin yang mengilap, bukan lecet di tangan papa. Mereka tidak tahu tikus-tikus yang dulu membuat mama menangis karena anaknya tergigit. Mereka tidak tahu atap bocor yang membuat kami tidur sambil menampung air hujan dengan baskom. Tapi kini mereka menuduh… hanya karena rumah ini tak lagi jelek.
Mungkin, luka terdalam memang bukan berasal dari orang asing. Tapi dari darah yang seharusnya menjadi pelukan saat kita pulang.
Aku tidak marah. Aku hanya… sangat sedih.
Salah satu sudut pandang positif:
Sebenarnya, ucapan negatif itu lebih mencerminkan kondisi mereka sendiri. Kata orang bijak, “Kata-kata buruk biasanya lahir dari ketidakmampuan menerima kenyataan.” Rasa iri kerap menyamar menjadi kritik sinis.
Analisa tambahan:
Fenomena seperti ini dikenal sebagai crab mentality—di mana ketika satu orang berhasil naik, yang lain justru berusaha menariknya turun. Ini kerap muncul dalam keluarga besar, apalagi jika perbedaan ekonomi cukup mencolok. Beberapa keluarga menganggap bahwa kesuksesan salah satu anggota adalah “harta bersama” yang wajib dibagi, padahal itu hasil jerih payah individu.
Tak sedikit pula orang yang menganggap saudara yang sukses sebagai “dompet berjalan” dan mulai merasa berhak menuntut bantuan tanpa usaha.
Kesimpulan:
Terkadang, menjaga jarak bukan berarti memutuskan silaturahmi, tapi menjaga kesehatan mental. Bantuan seharusnya datang dari ketulusan, bukan dari tekanan sosial atau rasa tidak enak. Sukses bukanlah dosa, dan membantu bukanlah kewajiban absolut. Jika tidak dihargai, tak ada salahnya untuk lebih fokus pada keluarga inti dan kebahagiaan sendiri.