Share this

Teknologi voice cloning atau kloning suara berbasis AI kini semakin canggih. Dengan hanya beberapa rekaman suara, sebuah sistem dapat menciptakan suara sintetis yang hampir tidak bisa dibedakan dari suara asli seseorang. Hal ini membuka peluang besar di berbagai bidang seperti asisten suara, dubbing film, hingga aplikasi edukasi. Namun, di balik kehebatannya, teknologi ini membawa ancaman serius terhadap privasi, keamanan, dan kepercayaan publik.
Sisi positifnya, voice cloning bisa membantu orang yang kehilangan kemampuan berbicara untuk mendapatkan kembali “suara” mereka melalui AI. Bahkan, bisa digunakan dalam industri hiburan untuk menyempurnakan narasi tanpa perlu pengisi suara ulang. Tapi, ketika disalahgunakan, teknologi ini menjadi pisau bermata dua.
Bayangkan saja: seseorang bisa meniru suara Anda untuk melakukan penipuan suara (voice phishing), menyebarkan informasi palsu, atau bahkan menipu sistem otentikasi suara di sektor perbankan. Hal ini sudah terjadi di beberapa negara dengan populasi besar seperti India, di mana keberagaman bahasa justru menjadi celah eksploitasi.
Tak hanya itu, sektor jurnalisme, politik, layanan pelanggan, hingga penegakan hukum juga berisiko. Kloning suara bisa digunakan untuk membuat pernyataan palsu dari tokoh terkenal, menyabotase reputasi, bahkan merusak kredibilitas bukti suara dalam investigasi.
Maka dari itu, penting untuk mendorong regulasi ketat. Suara manusia harus diperlakukan sebagai data pribadi sensitif, dan penggunaannya harus disertai persetujuan eksplisit. Pemerintah dan perusahaan teknologi wajib memperkuat kebijakan perlindungan data dan memastikan transparansi penggunaan teknologi ini.
Kesimpulannya, AI voice cloning adalah inovasi yang mengesankan, tapi juga berbahaya jika tidak diatur. Kita perlu bertindak sekarang, sebelum suara kita digunakan untuk tujuan yang merugikan. Suara Anda bukan milik publik β itu identitas yang harus dilindungi.