Share this

Banyak HRD pemula sering terkecoh oleh pesona mahasiswa yang terlihat aktif dan penuh inisiatif. Di awal karier saya sebagai HRD, saya pernah berpikir bahwa mereka adalah aset berharga: punya jaringan luas, ide segar, dan semangat tinggi. Bahkan, saya sempat menentang saran senior yang bilang, “Hindari kandidat yang terlalu kepo dan kecentilan.”
Waktu itu saya tetap memilih dua kandidat yang super aktif—mereka membawa perubahan positif, dan beberapa manajer bahkan berterima kasih karena hasil kerja mereka terasa nyata. Tapi seiring waktu, saya mulai paham kenapa senior saya mengingatkan demikian.
Karyawan yang terlalu “kecentilan” ini ternyata juga sangat kritis terhadap aturan dan kebijakan perusahaan. Mereka sering mempertanyakan kebijakan HRD, terutama yang tujuannya efisiensi. Saya ingat dua karyawan, inisial R dan H, yang sangat vokal. Setiap kali HRD ingin melakukan penghematan atau penyederhanaan sistem, mereka langsung pasang badan—bukan buat membela diri, tapi membela seluruh kantor.
Dari situ, saya mulai sadar bahwa terlalu aktif bukan berarti selalu positif. Dalam dunia kerja, terutama dari sisi HRD, stabilitas dan loyalitas kadang lebih penting daripada sekadar inisiatif. Kandidat yang terlalu kritis bisa jadi batu sandungan bagi implementasi kebijakan jangka panjang.
Sisi Positif:
Dari sudut pandang lain, keberanian R dan H untuk bersuara bisa dianggap sebagai bentuk loyalitas terhadap keadilan dan etika perusahaan. Mereka bukan toxic, hanya vokal. Dalam organisasi yang terbuka, hal ini justru bisa jadi pemicu perubahan positif asal dikelola dengan bijak.
Kesimpulan:
Seleksi karyawan bukan hanya soal siapa yang paling aktif atau pintar bicara. HRD perlu mempertimbangkan faktor keseimbangan antara inisiatif dan kepatuhan, antara kritikal dan kolaboratif. Tidak semua “kecentilan” buruk, tapi tidak semua juga bisa diterima di setiap lingkungan kerja.