Jadi, begini, keluarga kecil saya terdiri dari papa, mama, dan kakak, semuanya baik-baik saja. Tapi, masalahnya ada di keluarga besar saya. Keluarga kami berasal dari kakek dan nenek yang sangat miskin. Dulu, saat saya masih kecil, kakek dan nenek kesulitan memberi makan anak-anak mereka yang berjumlah 7, dan papa saya adalah anak termuda.
Ketika anak pertama merantau ke kota, semua adik-adiknya ikut serta. Namun, rezeki setiap orang berbeda, dan sayangnya, semua saudara saya masih hidup dalam kekurangan. Sebenarnya, semuanya memiliki masalah masing-masing. Saya merasa beruntung karena masalah saya bukan masalah ekonomi.
Enam kakak papa saya hidup dalam kekurangan dengan masalah masing-masing. Meskipun ada satu orang yang memiliki kehidupan yang cukup nyaman, tetapi masih merasa kekurangan karena memiliki banyak anak.
Pokoknya, keluarga saya terlihat memiliki kehidupan yang paling menyenangkan karena kami tidak kekurangan uang. Tetapi, keluarga saya juga memiliki masalah yang tidak ingin saya ceritakan dalam jawaban ini.
Suatu ketika, keluarga kami selesai merenovasi rumah kami yang sebelumnya hanya 'asal punya'. Tidak ada estetika sama sekali. Karena kerja keras papa yang sekarang memiliki jabatan tinggi di kantor, beliau memiliki rezeki lebih untuk merenovasi rumah. Setelah selesai, kami mengundang keluarga untuk sukuran di rumah, makan-makan sambil ngobrol-ngobrol.
Namun, yang membuat saya kehilangan rasa hormat terhadap mereka adalah saat saya mendengar mereka berbicara negatif tentang papa saya. Mereka mengatakan bahwa papa saya sombong, belagu, punya uang banyak tapi tidak membantu keluarga, malah digunakan untuk meningkatkan gengsi dengan merenovasi rumah. Padahal, rumah sebelumnya tidak ada masalah.
Saya merasa kecewa mendengar mereka berbicara seperti itu. Padahal, mereka semua diundang oleh papa untuk merayakan rumah baru, sukuran, sungkem, silaturahmi, tapi malah berbicara seperti itu di belakang papa dan mama. Saya tidak ingin membantu mereka. Padahal, papa sering mengajak mereka makan. Tidak cukupkah itu? Apakah mereka ingin papa mengurus semua aspek kehidupan mereka? Mereka harus berusaha sendiri, bukan hanya mengandalkan papa!
Selain itu, mereka juga salah jika mengatakan bahwa rumah kami tidak ada masalah. Sebelum direnovasi, banyak yang bocor dan kami menemukan banyak tikus. Jadi, kami merenovasinya bukan hanya untuk tampilan, tetapi juga untuk menyelesaikan masalah yang ada. Tapi, mereka tidak peduli saat saya menjelaskan.
Sebagai anak, saya merasa tersinggung saat mendengar papa saya dijelek-jelekin seperti itu!
Komentar :
Seorang pengguna dengan nama Syaifullah Daeng Ipul berbicara tentang kata-kata jelek sebagai cermin ketidakmampuan orang yang mengucapkannya. Menurutnya, orang tersebut mungkin menginginkan sesuatu yang tidak bisa mereka capai, dan mengeluarkan kekecewaan tersebut dengan menjelek-jelekkan orang lain.
Harits Indi Pradana menilai kalimat "Kata-kata jelek itu adalah cerminan ketidakmampuan mereka saja" sebagai kalimat yang bagus. Ini menunjukkan bahwa banyak yang setuju dengan pandangan tersebut.
Hengky S. menambahkan bahwa orang yang suka melakukan bullying biasanya memiliki kekurangan yang mereka salurkan kepada orang lain.
Seorang pengguna dengan nama Akun Kost menyinggung tentang mental "IRI Bilang Bos" dan menyebutnya sebagai mental pengemis yang payah.
Yusuf Alman membagikan pengalaman dengan guru yang memberikan prioritas pada penyelesaian perselisihan keluarga. Guru tersebut menyarankan untuk memprioritaskan orang tua, kakek nenek, anak-anak, dan cucu.
Pengguna bernama Quora User dan IndoNesia mengikuti percakapan dengan ungkapan terima kasih dan rasa tercerahkan.
Agma berbicara tentang kondisi ayahnya yang memiliki perekonomian baik, tapi keluarga yang lain tidak mendukung dan bahkan mengomentari usaha ayahnya.
Na Diana 나 디아나 menceritakan tentang keluarganya yang selalu mencari masalah, terutama adik ayahnya yang suka melarikan diri ke keluarga lain saat susah dan senang.
Kang Pansos berbagi pengalaman tentang keluarga yang sering meminjam uang tanpa mengembalikan dan kurang menghargai usaha ayahnya.
Flammentin Rosso menyebut bahwa beberapa orang mungkin menganggap ayah sebagai "dompet berjalan."
Donal Marta menyatakan bahwa situasi seperti ini hampir terjadi di seluruh keluarga di Indonesia dengan istilah "kerabat yang toxic."
Faridah Fida menyarankan untuk menjaga jarak dengan keluarga yang toxic, karena kadang orang yang bukan saudara lebih bisa peduli dan menghargai.
Rahma Aramitha menceritakan tentang ibunya yang memiliki "penyakit hati" dan sulit merasakan kebahagiaan orang lain, termasuk saudaranya sendiri.
Numberser berbicara tentang kondisi sosial di Indonesia terkait iri hati terhadap kesuksesan orang lain.
Seorang pengguna dengan nama Awwonho menyinggung tentang pembelian gorden dan makeup di keluarganya.
Ricky menceritakan bahwa keluarga besar neneknya bahkan tidak pernah menginjakkan kakinya ke rumah orang tuanya, kecuali saat meminjam uang.
Fariz Firdaus menyebut fenomena ini sebagai "crab mentality."
Fajar/FS mengirimkan harapan agar TS (Thread Starter) tetap bersabar dan mengingatkan bahwa kata-kata tidak akan melukai jika tidak diijinkan.
Kategori Post :
New Info : Informasi, viral, agama, tips dan trik, teknologi, kamasutra.
Bisnis Internet
Hard * Soft Skill : Soft Skill, Hard Skill, blogger, pemograman, hacking.
Pengalaman / Review : Review Wisata, pandangan, politik, review produk.
Keuangan : kartu kredit, investasi, pinjaman.
Posting Komentar
Lebih bermanfaat bagi para pembaca lainya dengan meninggalkan jejak Komentar ^_^